Select Menu

BEASISWA

BEASISWA

BEASISWA

Pelayan Rakyat

BEASISWA

BEASISWA

Pelayan Rakyat

Presiden Joko Widodo akan memberikan apresiasi berupa bonus apabila tim nasional Indonesia menjuarai Piala AFF 2016. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan hal tersebut.

Indonesia selangkah lagi untuk menjadi juara setelah mengalahkan Thailand 2-1 pada laga final leg pertama di Stadion Pakansari, Bogor.

Selanjutnya, pada leg kedua, Indonesia akan bertandang ke Stadion Rajamangala di Bangkok pada Sabtu (17/12/2016). Namun, Pramono enggan mengungkapkan bonus apa yang akan diberikan.

"Ya, nanti secara langsung biar Bapak Presiden yang menyampaikan," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (16/12/2016).

Pramono menegaskan, bonus hanya diberikan apabila timnas meraih juara, bukan runner-up. Dengan begitu, Tim Garuda harus berjuang untuk meraih kemenangan saat melawan Thailand.

"Syaratnya menang, masa kalah," kata dia.

Pramono mengaku optimistis Indonesia bisa meraih gelar juara pada Piala AFF kali ini. Sebab, Indonesia sudah mempunyai modal dengan mengalahkan Vietnam 2-1 pada leg pertama.

"Kita mengharapkan setelah lima kali masuk final AFF (dan selalu kalah), ini menjadi final yang memberikan kebahagiaan bagi kita semua," ucap Pramono.

Pramono menambahkan, Presiden akan menyaksikan pertandingan final Piala AFF leg kedua dari Jakarta.

Meski demikian, Jokowi sudah mengutus sejumlah jajarannya, mulai dari Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, hingga Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo untuk hadir langsung di Stadion Rajamangala, Bangkok. (Ihsanuddin)

Sumber: http://bola.kompas.com/read/2016/12/16/20260018/janji.jokowi.jika.indonesia.juara.piala.aff.2016

Kalau kita ke pulau Nias pasti kita mendengar ucapan Ya’ahowu, demikian sesama orang Nias kalau bertemu diawali dengan ucapan Ya’ahowu. Memang harus demikian. Ya’ahowu adalah salam dalam bahasa daerah Nias. Masalahnya, apakah pengucap atau pemakai salam Ya’ahowu pernah berpikir arti dan makna Ya’ahowu secara bentuk kata (morfologi) ?

Karena kata Ya’ahowu sesuatu yang lumrah dan biasa diucapkan oleh masyarakat Nias, lalu untuk apa berpikir sejauh itu, bagi awam merupakan hal yang wajar, tetapi bagi kaum intelektual tidak demikian karena sifat intelektual selalu mencari tahu dan mendapatkan tau akan sesuatu. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis menyajikan kepada pembaca uraian kata Yaahowu ditinjau dari segi ilmu bahasa pada umumnya dan dari segi morfologi pada khususnya.

Yaahowu terdiri dari 3 kata yang sudah dipadukan sehingga mendapat bentuk kata baru dan mempunyai arti tersendiri pula. Ketiga kata itu ialah: 1. Howu, 2. A, dan 3. Ya. Pertama, howu dalam bahasa daerah Nias berarti bagian yang lembut, segar dan sedang tumbuh atau berkembang pada suatu tanaman. Sebagai contoh ialah howu lewuö terjemahannya rebung, howu gae artinya bagian tengah batang pisang yang lembut, berwarna putih, segar dan sedang bertumbuh, howu nohi adalah bagian dalam pada puncak pohon kelapa yang berwarna putih, lembut, enak dimakan dan sedang bertumbuh.

Kedua, vokal ‘a’ pada kata ahowu, adalah awalan yang berfungsi menyatakan sifat dari kata yang diawalinya. Jadi bila howu duduk sebagai kata benda maka ahowu duduk sebagai kata sifat. Sehingga ahowu artinya mempunyai sifat seperti howu.

Ketiga, kata ‘ya’ adalah awalan yang berfungsi menyatakan bentuk optatif pada kata ahowu. Apa itu bentuk optatif ? Kata optatif berasal dari bahasa Latin yaitu optare artinya mengingini. Optatif dapat diterjemahkan dengan moga-moga atau sudi apalah kiranya. Bentuk optatif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak ditemukan, tetapi bentuk optatif ini dapat ditemukan pada bentuk kata kerja dalam bahasa Yunani. Memang dalam bahasa Yunani bentuk optatif hanya dipakai pada kata kerja, tetapi dalam bahasa daerah Nias, selain pada kata kerja dipakai pula pada kata sifat. Contoh: “ya’i’a ia mao” artinya semoga kucing memakannya. Untuk kata sifat “Ya’atulö ndra’ugö mane marafadi” artinya semoga anda tulus seperti merpati.

Jadi Yaahowu artinya ialah semoga lembut, segar dan terus bertumbuh seperti howu.
Pada umumnya pengartian dan pemaknaan kata Ya’ahowu diterjemahkan dengan “selamat”, tapi tidak menampung persis arti yang sebenarnya sebab “selamat” pengertiannya menuju kepada terbebaskannya dari sesuatu bahaya atau maut dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan kata fahowu’õ yang dapatditerjemahkan “berkatilah” ? Kata fahowu’ö merupakan bentuk kata kerja dari kata howu, namun dengan pemahaman memberi sesuatu yang adi kodrati, yang membuat si penerima segar, berbahagia dan terus bertumbuh atau berkembang.
Kembali kepada salam Ya’ahowu, apakah berasal dari kata yang menyatakan yang kodrati yaitu howu atau menyatakan adi kodrati yaitu howu-howu ? Kepada pembaca yang budiman dipersilakan meneliti dan menimbang, namun penulis berpendapat bahwa kata Ya’ahowu berasal dari kata yang menyatakan kodrati yaitu howu dan menjadi kata sifat yaitu ahowu dan terakhir mendapat bentuk optatif yaitu Ya’ahowu.
Kepada pembaca yang budiman dipersilahkan untuk merenungkan kalau dikatakan “Pesta Ya’ahowu” apakah terdapat dalam pemahaman si pengucap bahwa pesta yang mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang terus segar, bertumbuh atau sesuatu yang terus segar berkembang, dipersilahkan untuk memberi pendapat.

sumber:http://niasonline.net/2008/08/15/arti-dan-makna-salam-%E2%80%9Cya%E2%80%99ahowu%E2%80%9D/
Gordang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gordang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian

Gordang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing.Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi).

Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).

Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gordang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gordang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gordang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gordang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gordang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gordang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam.

Dahulunya materi pembentuk Gordang Sambilan dipilih dari beberapa kayu yang ditebang dan diambil dari beberapa hutan serta gunung, kearifan tradisional ini bertujuan melindungi penggunaan hutan secara berlebih sehingga dalam pengambilan pohon tersebut disertai dengan ritual-ritual dan pembacaan mantra tertentu yang ditujukan kepada roh nenek moyang agar mengizinkan pohon tersebut ditebang.

Pada hakikatnya fungsi dan kegunaan Gordang sambilan tidak berubah namun pada zaman sekarang penggunaannya lebih luas  seiring dengan perkembangan musik yang di kenal pada  saat sekarang ,dimana gondang sambilan ini dapat tergolong ke dalam musik kontemporer dalam beberapa pergelaran musik yang diselenggarakan.

Sedangkan penggunaannya dalam upacara adat, Gordang Sambilan dimainkan pada upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi. Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara adat tersebut, karena untuk kepentigan pribadi maka harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung sebagai kepala pemerintahan Huta/Banua. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara adat. Selain harus mendapat izin dariNamora Natoras dan Raja

Panusunan Bulung untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut, harus pula disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa yang disebut longit. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan. Dapat ditambahkan bahwa untuk upacara kematian (Orja Manbulungi),gordang yang digunakan hanya dua buah yang terbesar yang dinamakan Jangat, namun dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian dinamakan Bombat.

Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gordang berukuran besar dan panjang, gordang sambilan disusun secara bertingkat menurut ukurannya. Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilubangi salah satu ujung lobangnya, kemudian ujung yang lain dituutp dengan menggunakan membran terbuat dari kulit lembu. Kulit tersebut ditegangkan dengan menggunakan rotan, yang juga berfungsi sebagai pengikat. Untuk membunyikan diperlukan pemukul dari kayu. Dalam penggunaannya, alat musik ini juga disertai peragaan benda-benda kebesaran seperti bendera adat, payung odong, dan tombak sijabut.

Masyarakat Mandailing punya belasan irama Gordang Sambilan, ada Gordang Tua, Gordang Manngora Bula Tula, Gordang Sampuara Batu Magulang, Gordang Roba na Mosok, Gordang Ranggas Na Mule-Mule, Gorbang Siutur Sanggul, Gordang Gordang Potir, Gordang Sarama, Gordang Parnungnung, Bombat, dan Bombat Jogo-Jogo. Masing-masing gendang pada alat musik Gordang Sambilan memiliki nama. Mereka adalah Jangat Siangkaan, Jangat Silitonga, Jangat Sianggian, Pangaloi, Pangaloi, Paniga, Paniga, Udong-Kudong, dan Eneng-Eneng. Masing-masing kerajaan di Mandailing harus punya satu ensambel gordang sambilan. Alat musik ini merupakan satu set alat musik sakral yang ditempatkan di sopo godang (balai sidang adat dan kerajaan) atau di satu bangunan khusus yang terletak di dekat bagas godang.

Gordang Sambilan ini memiliki pengiring yang terdiri dari 2 buah Ogung, 1 Doal, tiga Salempong atau Mong-mongan, sebuah alat tiup bernama sarune atau saleot, dan dengan dua buah simbal kecil, semuanya jadi lengkap sembilan. Sembilan instrumen pengiring untuk 9 gendang . Dua buah ogung tersebut adalah ogung boru-boru (gong betina), dan ogung jantan ( gong jantan). Doal, merupakan satu gong yang lebih kecil dan tiga gong yang lebih kecil lagi dinamakan salempong atau mong-mongan. Ada juga alat musik tiup bernama Sarune dan simba kecil yang disebut Tali Sasayat.

sumber:

http://ciricara.com/2012/06/18/mengenal-gordang-sambilan-lebih-dekat/;

http://gordangsally.blogspot.com/
Oleh Abdoellah Loebis

"...Maka karena itoe doeloe tiap2 kampoeng asalnja dengan kampoeng-kampoeng jang terdiri dari kampeong asalnja itoe, ditempati oleh satoe marga. Tetapi lama kelamaan, perpindahan dan lain-lain hal didalam djadjahan atau daerah dari pada satoe marga orang-orang jang dari lain marga datang atau sebaliknja marga itoe mendatangi marga lain. Marilah ambil doea marga oempamanja A dan B; antara mana jang satoe marga sama lainnja boleh berkawin, bahwa oleh perpindahan perkawinan dari satoe marga terdjadilah kepada lainnja. Dari sebab itoelah terdapat berbagai-bagai dan banjak marga pada tiap-tiap kampoeng, dan soesah sekali sekarang dapat diketahoei soekoe mana jang asalnja pendoedoek kampoeng itoe. Marga itoe berkembanglah disegenap kampoeng atau negeri. Asalnja pada tiap-tiap kampoeng hanja terdapat biasanja doea marga; jang pertama marga jang poenja kampoeng itoe, dan lainnja marga jang datang, namanja di-Mandailing bajo-bajo.

Maka karena itoe sebagai kita katakan tadi, bahwa perpindahan itoe terdjadinja atas doea marga, marga jang satoe boleh berkawin dengan marga jang didapatinja itoe. Marga jang boleh bersiambilan berkawin itoe akan terdjadi disebabkan dibangoenkan oleh marga-marga jang berperinggan dengan dia. Demikianlah marga jang poenja negeri itoe ada poenja bajo-bajo, dan bajo-bajonja ada poela poenja bajo-bajo, djadi dengan keadaan begitoe lama kelamaan terdapatlah dalam satoe kampoeng berbagai bagai marga.

Marga-marga itoe, jang tertentoe oempamanja di-Mandailing Djoeloe dan Pakantan, adalah:
1. Loebis (Loebis itoe terbahagi doea jaitoe Loebis Hoeta Nopan dan Loebis Singa Soro).
2. Nasoetion
3. Parindoeri
4. Batoe Bara
5. Matondang
6. Daoelae
7. Nai Moente
8. Nasiboean
9. Poeloengan

Di Mandailing Godang, orang dapati marga-marga itoe disana :
1. Nasoetion. Ini terbagi beberapa bagian:
a. Nasoetian Panjaboengan
b. Nasoetian Tambangan
c. Nasoetian Borotan
d. Nasoetian Lantjat
e. Nasoetian Djior
f. Nasoetian Tonga
g. Nasoetian Dolok
h. Nasoetian Maga
i. Nasoetian Pidolo, d.l.l.

2. Loebis
3. Nasiboean
4. Harahap
5. Batoe bara
6. Mantondang (toeroenan Nasiboean)
7. Rangkoeti
8. Mardia
9. Parindoeri
10. Batoe na Bolon
11. Poeloengan
12. Rambe
13. Mangintir
14. Moente
15. Panggabean
16. Tangga Ambeng
17. Margara

Marga-marga jang diterangkan diatas itoe tidak dapat benar dipastikan dan ditentoekan dari mana datangnja. Tetapi menoeroet rapport dari Dr. Junghuhn, jang soedah dioetoes oleh Regeering (Gouvernement) ke-Tapanoeli dalam tahoen 1840, diantara marga-marga itoe tidak ada dapat lagi dari bangsa Batak, tetapi sama sekali asal toeroenan itoe seodah lain dari bangsa Batak. Dan di-Mandailing menoeroet rapport itoe tidak ada bangsa Batak lagi".

Dipetik dari Majalah Mandailing, 1920an

sumber: http://www.mandailing.org/ind/kekrabatan-ren2.html
Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya.

Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing.

Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama". Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak.

Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga. Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13 marga. Marga-marga itu ialah:

1. Hasibuan
2. Dalimunte
3. Mardia
4. Pulungan
5. Lubis
6. Nasution
7. Rangkuti
8. Parinduri
9. Daulae
10. Matondang
11. Batu Bara
12. Tanjung
13. Lintang

Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing. Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu.

sumber: http://www.mandailing.org/ind/kekrabatan.html
Festival Danau Toba menjadi nama baru bagi Pesta Danau Toba yang terakhir digelar Desember tahun lalu. Untuk tahun 2013, Festival Danau Toba yang pertama digelar lebih semarak dan melibatkan 11 kabupaten/kota yang terdapat di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Festival itu juga akan melibatkan musisi dan atlet dari sejumlah negara.
Festival Danau Toba (FDT) tahun ini akan digelar pada 8-14 September. ”Kami menyepakati, festival akan digelar setiap tahun pada minggu kedua bulan September. Masalah sebelumnya dengan Pesta Danau Toba adalah waktunya yang tak menentu sehingga belum bisa menjadi agenda rutin wisata,” kata Bupati Samosir, Mangindar Simbolon saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Senin (5/8/2013).
Samosir adalah pulau di tengah Danau Toba. Mangindar datang bersama sejumlah anggota Panitia FDT 2013 yang terdiri dari wakil Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah daerah serta pencinta tradisi Toba. Mereka diterima oleh Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Berman Lubis menambahkan, FDT menjadi satu rangkaian dengan kegiatan wisata yang digelar daerah lain. Seperti tahun ini, FDT menjadi rangkaian dari Sail Komodo yang sudah mulai berjalan. Puncak Sail Komodo akan digelar mulai 14 September setelah festival di Danau Toba berakhir.
FDT 2013 diisi kegiatan seni budaya, tradisi, dan olahraga. Untuk bidang olahraga, digelar lomba perahu naga dengan peserta dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia serta lomba renang di Danau Toba dan mengelilingi Pulau Samosir sepanjang 187 kilometer. Renang mengelilingi pulau itu akan jadi yang pertama di Indonesia serta untuk memecahkan rekor dunia.
Untuk seni budaya, ujar musisi Rizaldi Siagian, akan ditampilkan beragam kesenian dari 11 daerah di sekitar Danau Toba di panggung yang disebut Heritage.
Alat musik perkusi khas Batak/Toba, gondang, juga akan dimuliakan dengan disandingkan beragam alat musik sejenis dari sejumlah negara dan daerah. Musisi dari Amerika Serikat, Afrika Barat, Myanmar, Jepang, dan Bali sudah bersedia tampil di FDT 2013. FDT pun diharapkan kian semarak.
Kalau diartikan langsung “Dalihan Natolu” adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan “Dalihan Natolu” ialah tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah atau terbuang.
Dulunya, kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam bahasa Batak Toba disebut juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat sihalsihal adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

Sehari-hari alat tungku merupakan bagian peralatan rumah yang paling vital untuk memasak. Makanan yang dimasak baik makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga. Biasanya memasak di atas dalihan natolu terkadang tidak rata karena batu penyangga yang tidak sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa sehari-harinya kebanyakan orang Batak Toba tambahan benda untuk mengganjal disebut Sihal-sihal.
Contoh umpasa Batak Toba yang menggunakan kata Dalihan Natolu : “Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.”
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :

Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Berikut penjabaran singkat tentang makna filsafah Dalihan Natolu dalam kehidupan Batak Toba serta contoh penerapan bersosial dalam adat Batak Toba.

1. Somba marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).

Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).

2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.

sumber: http://www.gobatak.com/filsafah-orang-batak-toba-dalam-dalihan-natolu/
Huta, Horja dan Bius merupakan elemen dasar dalam sistem kelembagaan masyarakat Toba. Huta yang secara harfiah berarti ‘kota’ atau ‘kuta’, merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil di dalam masyarakat Toba. Huta merupakan milik dari pendirinya dan turun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai tingkat pemerintahan Bius paling bawah.

Setiap Huta dipimpin oleh seorang Raja-Huta secara turun-temurun dimana para Raja-Huta inilah yang merupakan elit politik dalam Bius. Melalui Raja-Huta itulah terpilih semua pejabat teras Bius, yaitu pemerintahan (dewan) Bius yang sekuler. Golongan Raja-Huta di semua Bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc) di tiap Horja.

Raja-Huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam hutanya. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka Raja-Huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-Horja dan adat ber-Bius, sehingga Raja-Huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada Horja dan Bius.

Ini digambarkan melalui ungkapan “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius”. Beberapa Huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘Horja’. Biasanya satu Horja terdiri dari sejumlah Huta, bisa mencapai 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap Horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat Horja tersebut.

Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja, dan bersama mereka yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan Huta, dan juga pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru (pengambil istri marga raja), sehingga marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk Horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus/ mufakat antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja.

Tiap Horja adalah bagian dari Bius dan Bius melebihi dari satu Horja. Jumlah Horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu Bius. Setiap Horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua Horja di dalam suatu Bius, tetapi setiap Bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri.

Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan dimana seluruh warga terlibat. Setiap Horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan Bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi Parbaringin yang akan duduk dalam organisasi Parbaringin.

Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa Horja. Bius adalah paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat). Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai duo kepemimpinan atau dwi tunggal dan umumnya tidak mengenal pemimpin (uluan) tunggal. Pimpinan yang pertama adalah pemimpin sekuler (duniawi) dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut Pande Bolon. Dewan Bius terdiri dari utusan tiap-tiap Horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua” dari horja “tertua” (pengayom hukum).

Ditulis dalam suku-batak.blogspot.com bahwa Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.



sumber: http://www.gobatak.com/huta-horja-bius-sistem-demokrasi-masyarakat-batak/