Huta-Horja-Bius; Sistem Demokrasi Masyarakat Batak
Unknown
23.59
0
Huta, Horja dan Bius merupakan elemen dasar dalam sistem kelembagaan masyarakat Toba. Huta yang secara harfiah berarti ‘kota’ atau ‘kuta’, merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil di dalam masyarakat Toba. Huta merupakan milik dari pendirinya dan turun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai tingkat pemerintahan Bius paling bawah.
Setiap Huta dipimpin oleh seorang Raja-Huta secara turun-temurun dimana para Raja-Huta inilah yang merupakan elit politik dalam Bius. Melalui Raja-Huta itulah terpilih semua pejabat teras Bius, yaitu pemerintahan (dewan) Bius yang sekuler. Golongan Raja-Huta di semua Bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc) di tiap Horja.
Raja-Huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam hutanya. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka Raja-Huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-Horja dan adat ber-Bius, sehingga Raja-Huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada Horja dan Bius.
Ini digambarkan melalui ungkapan “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius”. Beberapa Huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘Horja’. Biasanya satu Horja terdiri dari sejumlah Huta, bisa mencapai 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap Horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat Horja tersebut.
Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja, dan bersama mereka yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan Huta, dan juga pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru (pengambil istri marga raja), sehingga marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk Horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus/ mufakat antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja.
Tiap Horja adalah bagian dari Bius dan Bius melebihi dari satu Horja. Jumlah Horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu Bius. Setiap Horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua Horja di dalam suatu Bius, tetapi setiap Bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri.
Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan dimana seluruh warga terlibat. Setiap Horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan Bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi Parbaringin yang akan duduk dalam organisasi Parbaringin.
Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa Horja. Bius adalah paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat). Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai duo kepemimpinan atau dwi tunggal dan umumnya tidak mengenal pemimpin (uluan) tunggal. Pimpinan yang pertama adalah pemimpin sekuler (duniawi) dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut Pande Bolon. Dewan Bius terdiri dari utusan tiap-tiap Horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua” dari horja “tertua” (pengayom hukum).
Ditulis dalam suku-batak.blogspot.com bahwa Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.
sumber: http://www.gobatak.com/huta-horja-bius-sistem-demokrasi-masyarakat-batak/
Setiap Huta dipimpin oleh seorang Raja-Huta secara turun-temurun dimana para Raja-Huta inilah yang merupakan elit politik dalam Bius. Melalui Raja-Huta itulah terpilih semua pejabat teras Bius, yaitu pemerintahan (dewan) Bius yang sekuler. Golongan Raja-Huta di semua Bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc) di tiap Horja.
Raja-Huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam hutanya. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka Raja-Huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-Horja dan adat ber-Bius, sehingga Raja-Huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada Horja dan Bius.
Ini digambarkan melalui ungkapan “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius”. Beberapa Huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘Horja’. Biasanya satu Horja terdiri dari sejumlah Huta, bisa mencapai 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap Horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat Horja tersebut.
Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja, dan bersama mereka yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan Huta, dan juga pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru (pengambil istri marga raja), sehingga marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk Horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus/ mufakat antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja.
Tiap Horja adalah bagian dari Bius dan Bius melebihi dari satu Horja. Jumlah Horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu Bius. Setiap Horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua Horja di dalam suatu Bius, tetapi setiap Bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri.
Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan dimana seluruh warga terlibat. Setiap Horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan Bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi Parbaringin yang akan duduk dalam organisasi Parbaringin.
Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa Horja. Bius adalah paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat). Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai duo kepemimpinan atau dwi tunggal dan umumnya tidak mengenal pemimpin (uluan) tunggal. Pimpinan yang pertama adalah pemimpin sekuler (duniawi) dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut Pande Bolon. Dewan Bius terdiri dari utusan tiap-tiap Horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua” dari horja “tertua” (pengayom hukum).
Ditulis dalam suku-batak.blogspot.com bahwa Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.
sumber: http://www.gobatak.com/huta-horja-bius-sistem-demokrasi-masyarakat-batak/
Tidak ada komentar